I Survived Too Many Storms Alone, Now They Are Offering Me Umbrella for Rain”
Ada masa dalam hidup ketika kita harus menghadapi badai sendirian. Bukan karena ingin, tapi karena keadaan memaksa. Tidak ada tangan yang terulur, tidak ada pelukan yang menenangkan, bahkan tidak ada suara yang sekadar berkata, "Kamu akan baik-baik saja." Kita hanya punya diri sendiri—dengan segala luka, ketakutan, dan air mata yang jatuh diam-diam di tengah malam.
Kita pernah berada di titik terendah: kehilangan arah, ditinggalkan saat paling membutuhkan, diremehkan ketika sedang berjuang. Di saat itu, tidak ada yang peduli. Tidak ada yang bertanya, tidak ada yang menengok. Tapi entah bagaimana, kita tetap bertahan. Kita belajar berjalan sendiri, menata hati yang hancur, dan menyulam harapan dari serpihan mimpi yang nyaris musnah. Kita tumbuh kuat bukan karena pilihan, tapi karena tidak ada pilihan lain.
Dan sekarang, setelah semua badai itu berlalu—setelah peluh, air mata, dan kesunyian panjang—mereka datang. Membawa payung ketika hujan hanya gerimis. Membawa perhatian saat luka sudah sembuh. Mereka datang bukan ketika kita rapuh, tapi saat kita sudah bisa berdiri tegar. Ironis, bukan?
Tapi dari situ kita belajar, bahwa hidup memang tidak selalu adil. Dan tidak semua orang yang datang membawa niat yang tulus. Kadang, mereka hanya muncul saat kita sudah tampak sukses, saat kita tak lagi butuh. Mereka tidak melihat proses, hanya tertarik pada hasil.
Namun, bukan berarti kita harus membenci. Tidak juga berarti kita harus menerima semua dengan tangan terbuka. Ini saatnya kita bijak memilih siapa yang layak berdiri di sisi kita. Bukan karena mereka datang membawa payung, tapi karena mereka pernah ikut meneduh saat kita hujan-hujanan sendirian.
Kita boleh memaafkan, tapi tidak harus memberi tempat yang sama. Kita boleh tersenyum, tapi tidak perlu membuka hati lagi untuk yang hanya datang saat matahari terbit. Karena sesungguhnya, orang-orang yang layak untuk kita genggam erat, adalah mereka yang bertahan ketika cuaca paling buruk pun datang tanpa aba-aba.
Dan pada akhirnya, kita bersyukur pernah sendiri. Karena dari kesendirian itulah kita belajar menjadi kuat. Dan kini, kita tahu: payung terbaik adalah hati yang tahan menghadapi badai, bukan sekadar alat perlindungan dari rintik hujan yang sesaat.
No comments:
Post a Comment