Pages

Monday, April 28, 2025

Siangnya Banyak Kerjaan, Malamnya Banyak Pikiran

Dalam hidup yang terus berlari ini, banyak dari kita terjebak dalam pola yang diam-diam melelahkan: siangnya disibukkan oleh tumpukan pekerjaan, malamnya dihantui oleh tumpukan pikiran. Seolah-olah, waktu siang tak pernah cukup untuk menyelesaikan semua tugas, dan waktu malam tak pernah cukup untuk benar-benar beristirahat. Tubuh bekerja, pikiran berlari, hati pun ikut lelah.

Siang hari penuh dengan riuhnya dunia. E-mail bertubi-tubi masuk, deadline mengejar tanpa ampun, rapat demi rapat seakan tak memberi ruang untuk bernafas. Kita bergerak seperti mesin yang harus terus berjalan, bahkan ketika energi perlahan menipis. Kita menyelesaikan satu pekerjaan, sudah menanti tiga pekerjaan lain. Dalam hiruk-pikuk ini, tak banyak waktu untuk bertanya kepada diri sendiri: “Apa aku bahagia?” atau bahkan sekadar bertanya, “Apa aku baik-baik saja?”

Lalu malam datang. Bukannya menjadi waktu untuk memulihkan tenaga, malam justru membuka pintu bagi pikiran-pikiran yang kita abaikan sepanjang hari. Kekhawatiran tentang masa depan, penyesalan atas kesalahan hari ini, kecemasan tentang hal-hal kecil hingga besar—semuanya berdesakan masuk ke kepala yang sudah lelah. Mata mungkin terpejam, tetapi pikiran tetap terjaga, berputar tanpa henti.

Mengapa ini terjadi? Karena kita sering lupa bahwa tubuh butuh istirahat, tapi pikiran juga perlu ketenangan. Kita terlalu fokus menyelesaikan urusan dunia luar, hingga mengabaikan dunia dalam diri sendiri. Kita menuntut diri untuk kuat dan produktif tanpa henti, namun lupa bahwa manusia punya batas, dan ada saatnya kita harus berhenti sejenak—bukan karena kalah, tapi karena butuh bernafas.

Solusinya bukan sekadar mengurangi pekerjaan atau menghindari pikiran, melainkan mengatur ruang antara keduanya. Mungkin kita perlu belajar untuk lebih hadir saat bekerja: fokus menyelesaikan satu hal dalam satu waktu, bukan membebani diri dengan multitasking yang hanya membuat pikiran tambah kusut. Dan ketika malam tiba, kita belajar untuk berdamai dengan apa yang belum selesai. Kita izinkan diri untuk berkata, "Cukup untuk hari ini."

Malam adalah hak tubuh dan jiwa untuk beristirahat, bukan ruang pengadilan untuk menghakimi diri sendiri. Latihlah pikiran untuk perlahan melepaskan apa yang tidak bisa dikendalikan. Mulailah dengan hal kecil: bersyukur atas satu hal yang sudah berhasil dilakukan hari ini, sekecil apapun itu. Bukan demi dunia luar, tapi demi menjaga dunia kecil di dalam diri agar tetap damai.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa cepat kita berlari atau seberapa banyak yang bisa kita raih, tetapi tentang bagaimana kita menjaga keseimbangan antara kerja keras dan kedamaian batin. Kita bukan mesin. Kita manusia. Kita butuh istirahat, butuh memaafkan diri sendiri, dan butuh malam yang benar-benar menjadi malam—bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk jiwa.

No comments:

Post a Comment

Tidak Ada Sepatu yang Sekali Melangkah Langsung Menuju Kesuksesan

Dalam perjalanan hidup, banyak orang menginginkan kesuksesan instan. Mereka ingin satu langkah kecil langsung membawa mereka ke puncak keber...